Sabtu, 29 Oktober 2011

Salah kirim!!

Sepasang suami isteri setengah baya yang sama- sama dari kalangan profesional merasa
penat dengan kesibukan di ibukota. Mereka memutuskan untuk berlibur di Padang dan
menempati kembali kamar hotel yang sama saat mereka melalui masa honeymoon 30
tahun lalu.


Karena kesibukannya, sang suami harus terbang lebih dahulu dan isterinya baru menyusul
keesokan harinya.


Setelah check in di hotel di Padang, sang suami mendapati sebuah komputer yang
tersambung ke internet telah terpasang di kamarnya. Dengan gembira ia menulis e-mail
mesra kepada isterinya di kantornya di Jalan Sudirman, Jakarta.


Celakanya, ia salah mengetik alamat e-mail isterinya dan tanpa menyadari kesalahannya ia
tetap mengirimkan e-mail tersebut.


Di daerah Pekanbaru, seorang wanita baru kembali dari pemakaman suaminya yang baru
meninggal. Setiba di rumah, ia langsung check e-mail untuk membaca ucapan-ucapan
belasungkawa.


Baru selesai membaca e-mail yang pertama, ia jatuh pingsan. Anak sulungnya yang
terkejut kemudian membaca e-mail tersebut, yang bunyinya:


To: Isteriku tercinta
Subject: Aku udah sampai!!!
Date: 22 Mei 2006


Aku tahu pasti kamu kaget tapi seneng dapat kabar dariku. Ternyata disini mereka udah
pasang internet juga, katanya biar bisa berkirim kabar buat orang-orang tercinta di rumah.


Aku baru sampai dan sudah check-in. Katanya mereka juga sudah mempersiapkan
segalanya untuk kedatanganmu besok.


Nggak sabar juga deh rasanya nunggu kamu. Semoga perjalanan kamu ke sini juga
mengasyikkan seperti perjalananku kemarin.


Oh iya, disini lagi panas-panasnya. Kalau pada mau, anak-anak diajak aja.


Love,
Papa

Banyol Gus Dur : Maju Aja Dituntun, Apalagi Mundur


Gus Dur dalam berbagai kesempatan selalu
berkata jujur. Akibat kejujurannya itu,
kadang kala disertai humor “tingkat tinggi”
yang membuat para pendengarnya tergelak.
Salah satu contohnya kala Gus Dur
menanggapi berbagai desakan agar dirinya
mundur. Tanpa basa-basi dia pun
menimpali.

“Maju aja masih harus dituntun, apalagi
mundur,” ujar Gus Dur

Ngakak bareng Gusdur : NU Diskon

Suatu hari, di bulan Ramadan, Gus Dur bersama seorang kiai lain (kiai Asrowi) pernah diundang ke kediaman mantan presiden Soeharto untuk buka bersama.
Setelah buka, kemudian salat Maghrib berjamaah. Setelah minum kopi, teh dan makan, terjadilah dialog antara Soeharto dan Gus Dur.
“Gus Dur sampai malam di sini?”
“Engga Pak! Saya harus segera pergi ke ‘tempat lain’.”
“Oh iya ya ya... silaken. Tapi kiainya kan ditinggal di sini ya?”

“Oh, iya Pak, tapi harus ada penjelasan.” “Penjelasan apa?”
“Salat Tarawihnya nanti itu ngikutin NU lama atau NU baru?”
Soeharto jadi bingung, baru kali ini dia mendengar ada NU lama dan NU baru. Kemudian dia bertanya. “Lho NU lama dan NU baru apa bedanya?”
”Kalau NU lama, Tarawih dan Witirnya itu 23 rakaat,” kata Gus Dur.
“Oh iya iya ya ya... ga apa-apa....” Gus Dur sementara diam.
“Lha kalau NU baru?”tanya Soeharto.
“Diskon 60 persen. Salat Tarawih dan Witirnya cuma tinggal 11 rakaat.” Semua tamu buka puasa langsung tertawa.

Ngakak bareng Gusdur : Obrolan Para Presiden

Saking udah bosannya keliling dunia, Gus Dur coba cari suasana di pesawat RI-01. Kali ini dia mengundang Presiden AS dan Perancis terbang bersama Gus Dur buat


keliling dunia. Boleh dong, emangnya AS dan Perancis aja yg punya pesawat kepresidenan. Seperti biasa...
setiap presiden selalu ingin memamerkan apa yang menjadi kebanggaan negerinya.
Tidak lama presiden Amerika, Clinton mengeluarkan tangannya dan sesaat kemudian dia berkata: "Wah kita sedang berada di atas New York!"
Presiden Indonesia (Gus Dur): "Lho kok bisa tau sih?"
"Itu.. patung Liberty kepegang!", jawab Clinton dengan bangganya.
Ngga mau kalah presiden Perancis, Jacques Chirac, ikut menjulurkan tangannya keluar. "Tau nggak... kita sedang berada di atas kota Paris!", katanya dengan sombongnya.
Presiden Indonesia: "Wah... kok bisa tau juga?"
"Itu... menara Eiffel kepegang!", sahut presiden Perancis tersebut.
Karena disombongin sama Clinton dan Chirac, giliran Gus Dur yang menjulurkan tangannya keluar pesawat...


"Wah... kita sedang berada di atas Tanah Abang!!!", teriak Gus Dur.
"Lho kok bisa tau sih?" tanya Clinton dan Chirac heran karena tahu Gus Dur itu kan nggak bisa ngeliat.
"Ini... jam tangan saya ilang. . .", jawab Gus Dur kalem.
Sumber: gusdur.net, 13 November 2008

Ngakak bareng Gusdur : Fenomena 'Gila' Gus Dur

 Konon, guyonan mantan Presiden Abdurrahman Wahid selalu ditunggu-tunggu oleh banyak kalangan, termasuk presiden dari berbagai negara.
Pernah suatu ketika, Gus Dur membuat tertawa Raja Saudi yang dikenal sangat serius dan hampir tidak pernah tertawa. Oleh Kiai Mustofa Bisri (Gus Mus),

momentum tersebut dinilai sangat bersejarah bagi rakyat Negeri Kaya Minyak. "Kenapa?" tanya Gus Dur.
"Sebab sampeyan sudah membuat Raja ketawa sampai giginya kelihatan. Baru kali ini rakyat Saudi melihat gigi rajanya," jelas Gus Mus, yang disambut gelak tawa Gus Dur.
Melekatnya predikat humoris pada Presiden RI yang keempat itu pun sempat membuat Presiden Kuba Fidel Alejandro Castro Ruz penasaran. Suatu ketika, keduanya berkesempatan bertemu.
Seperti yang diceritakan oleh mantan Kepala Protokol Istana Presiden Wahyu Muryadi pada tayangan televisi, Fidel Castro bertanya kepada Gus Dur mengenai joke teranyarnya.
Dijawablah oleh Gus Dur, "Di Indonesia itu terkenal dengan fenomena 'gila',".
Fidel Castro pun menyimak pernyataan mengagetkan tersebut.
"Presiden pertama dikenal dengan gila wanita. Presiden kedua dikenal dengan gila harta. Lalu, presiden ketiga dikenal gila teknologi," tutur Gus Dur yang kemudian

terdiam sejenak.
Fidel Castro pun semakin serius mendengarkan lanjutan cerita.
"Kemudian, kalau presiden yang keempat, ya yang milih itu yang gila," celetuk Gus Dur.
Fidel Castro pun diceritakan terpingkal­pingkal mendengar dagelan tersebut. (rhs)
Sumber: okezone.com, 02 Januari 2010

Foto 4 x 6 di Saku Bajumu Nak...

Seperti hari-hari kemarin,Tetap saja ada perasaan sedih yang menghantui relung hati Hamzah. Ayah berumur 29 tahun itu terlihat sering murung. Sedihnya Hamzah, bukan karena persoalan besar, bukan juga permasalahan ekonomi keluarga. Namun, kesedihannya karena satu pertanyaan yang dilontarkan pemateri ketika mengikuti acara Smart Parenting. ”Bagaimana caranya untuk mengetahui kalo anak berumur 1-5 tahun menyayangi orang tuannya” ? Ya, pertanyaan itulah yang manjadi beban pikiran dirinya saat ini. Meskipun juga Hamzah mengakui kalo dirinya bukanlah ayah yang baik. Marah adalah hal yang wajar terjadi. Namun, marah ketika terlihat oleh anak berusia 2 tahun adalah perkara yang berbahaya untuk perkembangan emosionalnya. Dan Hamzah mengakui hal itu. Mulai hari itu ia bertekad untuk menjadi ayah yang lebih baik lagi untuk anaknya.
Mulai saat itu, setiap hari Hamzah pulang kantor dengan tergesa-gesa. Sebab hanya satu tujuannya. Bagaimana mendapatkan jawaban dari Ridwan anaknya ! Bermain dan bercengkerama dengan anaknya lebih lama adalah solusi yang tepat untuk mendapatkan jawaban kata ”Iya”. Hari itu Hamzah membeli bola berukuran besar. Lebih besar dari ukuran tubuh Ridwan. Mereka bermain lebih lama. Hamzah rela menjadi penjaga gawang yang berpura-pura jatuh ketika menangkap bola. Dan itu terjadi berulang-ulang hingga mengundang tawa Ridwan. Hingga mereka letih bermain. Hamzah mengajak Ridwan duduk sebentar. Hamzah mengambikan segelas air minum yang akan diminum berdua. Pikiran Hamzah, Ini saat yang tepat menanyakannya. ”Nak, Ridwan sayang sama abi ga ?” Kali ini Ridwan menatap wajah Hamzah. Hamzah menanti.....tiba-tiba Ridwan berkata ”Abi, ayo main bola lagi !     Hamzah terdiam, mungkin pertanyaan itu ditanyakan ketika suasana tidak
tepat pikirnya.
Malam harinya, Hamzah membacakan buku ”Akhlaq Islami” kepada anaknya. Kali ini Hamzah membacanya dengan sabar dan lebih lama dari biasanya. Malam itu 9 buku dibacanya sampai habis. Hingga ketika anaknya terlihat mengantuk, Hamzah berinisiatif untuk menyeka punggung Ridwan. Ketika usapan demi usapan dilakukannya, terbesit keingginan untuk menanyakan kepada anaknya ”Nak, Ridwan sayang ka sama abi?”... Ridwan terdiam, ternyata Ridwan keburu tidur sebelum ditanya. Hmm... .biarlah, mungkin ia letih bermain tadi siang. Sambil mengusap punggung, dipandanginya wajah anaknya. Hamzah berkata di telingga anaknya. ”Nak, maafkan abi jika ternyata abi bukanlah ayah yang baik untukmu. Hingga engkau sulit mengatakan kata ”Iya”. Tapi biarlah, abi akan berusaha menjadi ayah yang baik”.
Malam pun berlalu, tanpa jawaban yang diimpikannya....
Sepulang shalat subuh, dompetnya berserakan! Ridwan ternyata telah bangun ketika Hamzah ke masjid. Foto dan tanda pengenal berceceran kemana-mana. Dengan sabar Hamzah mengambilnya dan memperbaikinya kembali. Hamzah berkata ke anaknya”Jangan dibuka dompet abi ya, disini banyak tanda pengenal yang penting. Nanti kalo hilang bagaimana ? ” Ridwan mengangguk tanda setuju. ”Oke! Ayo kita toss dulu” kata Hamzah. Dan Ridwan pun mengangkat dan membuka jarinya untuk toss dan tersenyum.
”Ok ummi, ayo berangkat” kata Hamzah. Waktu menunjukkan pukul 06.50. eh,ternyata Ridwan tak mau ganti baju. Bajunya yang dipake tidur tidak mau digantinya. Baju

bermotif mobil traktor dengan saku di depan itu terlihat kumal. Tapi Ridwan tetap tak mau ganti baju. Bahkan sampai menangis ketika bajunya mau dilepas. Karena takut terlambat ke kantor, maka biarlah Ridwan tidak mandi dan tak mau ganti baju.
Sore itu, Hamzah pulang tak lagi tergesa-gesa. Toh Ridwan tak menunjukkan itikad mengucapkan kata-kata ”Iya” untuk dirinya. Maka kali ini Hamzah melakukan aktifitas seperti biasa. Menjemput Ridwan di rumah nenek yang ternyata memakai baju yang sama dengan baju tadi pagi. Kata nenek ”Ridwan ngak mau ganti baju, dia jingkar ( Menangis hebat ) kalo bajunya mau dilepas”
Malam itu Hamzah tak ingin bermain bola bersama anaknya. Hamzah menggiring Ridwan untuk tidur lebih awal. Maka diiringilah tidur Ridwan dengan tilawah.Setelah terlelap tidur. Hamzah meminta istrinya untuk mengganti baju Ridwan yang kumal karena besok pagi giliran Hamzah yang mencuci baju.
Sepulang shalat subuh, Ridwan belum bangun. Tumpukan baju satu persatu dicucinya. Hingga tiba pada baju bermotif traktor Ridwan. Baju yang dipake seharian. Ketika mencuci, Hamzah menemukan foto 4×6 dirinya di saku baju Ridwan... Dan hal itulah yang membuat Ridwan tersenyum dan berkata dalam hati ”Tak usahlah engkau berkata ”Iya” Nak. Abi sudah tahu jawabannya”   

Hai, Kamu!!

Oleh :
W.S. Rendra


  Luka-luka di dalam lembaga,
intaian keangkuhan kekerdilan jiwa,
noda di dalam pergaulan antar manusia,
duduk di dalam kemacetan angan-angan.
Aku berontak dengan memandang cakrawala.


Jari-jari waktu menggamitku.
Aku menyimak kepada arus kali.
Lagu margasatwa agak mereda.
Indahnya ketenangan turun ke hatiku.
Lepas sudah himpitan-himpitan yang mengekangku.
 

Jakarta, 29 Pebruari 1978
Potret Pembangunan dalam Puisi 

Tangisan Rasulullah Menggoncangkan Arasy

Dikisahkan, bahwasanya di waktu Rasulullah s.a.w. sedang asyik bertawaf di Ka’bah, beliau mendengar seseorang di hadapannya bertawaf, sambil berzikir: “Ya Karim! Ya Karim!”
Rasulullah s.a.w. menirunya membaca “Ya Karim! Ya Karim!” Orang itu Ialu berhenti di salah satu sudut Ka’bah, dan berzikir lagi: “Ya Karim! Ya Karim!” Rasulullah s.a.w. yang berada di belakangnya mengikut zikirnya “Ya Karim! Ya Karim!” Merasa seperti diolok-olokkan, orang itu menoleh ke belakang dan terlihat olehnya seorang laki-laki yang gagah, lagi tampan yang belum pernah dikenalinya. Orang itu Ialu berkata:
“Wahai orang tampan! Apakah engkau memang sengaja memperolok-olokkanku, karena aku ini adalah orang Arab badwi? Kalaulah bukan kerana ketampananmu dan kegagahanmu, pasti engkau akan aku laporkan kepada kekasihku, Muhammad Rasulullah.”
Mendengar kata-kata orang badwi itu, Rasulullah s.a.w. tersenyum, lalu bertanya: “Tidakkah engkau mengenali Nabimu, wahai orang Arab?” “Belum,” jawab orang itu. “Jadi bagaimana kau beriman kepadanya?”
“Saya percaya dengan mantap atas kenabiannya, sekalipun saya belum pernah melihatnya, dan membenarkan perutusannya, sekalipun saya belum pernah bertemu dengannya,” kata orang Arab badwi itu pula.
Rasulullah s.a.w. pun berkata kepadanya: “Wahai orang Arab! Ketahuilah aku inilah Nabimu di dunia dan penolongmu nanti di akhirat!” Melihat Nabi di hadapannya, dia tercengang, seperti tidak percaya kepada dirinya.
“Tuan ini Nabi Muhammad?!” “Ya” jawab Nabi s.a.w. Dia segera tunduk untuk mencium kedua kaki Rasulullah s.a.w. Melihat hal itu, Rasulullah s.a.w. menarik tubuh orang Arab itu, seraya berkata kepadanya:
“Wahal orang Arab! janganlah berbuat serupa itu. Perbuatan seperti itu biasanya dilakukan oleh hamba sahaya kepada juragannya, Ketahuilah, Allah mengutusku bukan untuk menjadi seorang yang takabbur yang meminta dihormati, atau diagungkan, tetapi demi membawa berita.
Ketika itulah, Malaikat Jibril a.s. turun membawa berita dari langit dia berkata: “Ya Muhammad! Tuhan As-Salam mengucapkan salam kepadamu dan bersabda: “Katakanlah kepada orang Arab itu, agar dia tidak terpesona dengan belas kasih Allah. Ketahuilah bahawa Allah akan menghisabnya di hari Mahsyar nanti, akan menimbang semua amalannya, baik yang kecil maupun yang besar!” Setelah menyampaikan berita itu, Jibril kemudian pergi. Maka orang Arab itu pula berkata:
"Demi keagungan serta kemuliaan Tuhan, jika Tuhan akan membuat perhitungan atas amalan hamba, maka hamba pun akan membuat perhitungan dengannya!" kata orang Arab badwi itu. "Apakah yang akan engkau perhitungkan dengan Tuhan?" Rasulullah bertanya kepadanya. 'Jika Tuhan akan memperhitungkan dosa-dosa hamba, maka

hamba akan memperhitungkan betapa kebesaran maghfirahnya,' jawab orang itu. 'Jika Dia memperhitungkan kemaksiatan hamba, maka hamba akan memperhitungkan betapa keluasan pengampunan-Nya. Jika Dia memperhitungkan kekikiran hamba, maka hamba akan memperhitungkan pula betapa kedermawanannya!'
Mendengar ucapan orang Arab badwi itu, maka Rasulullah s.a.w. pun menangis mengingatkan betapa benarnya kata-kata orang Arab badwi itu, air mata beliau meleleh membasahi Janggutnya. Lantaran itu Malaikat Jibril turun lagi seraya berkata:
“Ya Muhammad! Tuhan As-Salam menyampaikan salam kepadamu, dan bersabda: Berhentilah engkau dari menangis! Sesungguhnya karena tangismu, penjaga Arasy lupa dari bacaan tasbih dan tahmidnya, sehingga la bergoncang. Katakan kepada temanmu itu, bahwa Allah tidak akan menghisab dirinya, juga tidak akan memperhitungkan kemaksiatannya. Allah sudah rnengampuni semua kesalahannya dan la akan menjadi temanmu di syurga nanti!” Betapa sukanya orang Arab badwi itu, mendengar berita tersebut. la Ialu menangis karena tidak berdaya menahan keharuan dirinya.


Antara Ayah, Anak dan Burung Gagak

Pada suatu petang seorang tua bersama anak mudanya yang baru menamatkan pendidikan tinggi duduk berbincang-bincang di halaman sambil memperhatikan suasana di sekitar mereka.
Tiba-tiba seekor burung gagak hinggap di ranting pokok berhampiran. Si ayah lalu menuding jari ke arah gagak sambil bertanya,
“Nak, apakah benda itu?” “Burung gagak”, jawab si anak.
Si ayah mengangguk-angguk, namun sejurus kemudian sekali lagi mengulangi pertanyaan yang sama. Si anak menyangka ayahnya kurang mendengar jawabannya tadi, lalu menjawab dengan sedikit kuat,
“Itu burung gagak, Ayah!”
Tetapi sejurus kemudian si ayah bertanya lagi pertanyaan yang sama.
Si anak merasa agak keliru dan sedikit bingung dengan pertanyaan yang sama diulang-ulang, lalu menjawab dengan lebih kuat,
“BURUNG GAGAK! !” Si ayah terdiam seketika.
Namun tidak lama kemudian sekali lagi sang ayah mengajukan pertanyaan yang serupa hingga membuat si anak hilang kesabaran dan menjawab dengan nada yang kesal kepada si ayah,
“Itu gagak, Ayah.” Tetapi agak mengejutkan si anak, karena si ayah sekali lagi membuka mulut hanya untuk bertanya hal yang sama. Dan kali ini si anak benar-benar hilang sabar dan menjadi marah.
“Ayah!!! Saya tak tahu Ayah paham atau tidak. Tapi sudah 5 kali Ayah bertanya soal hal tersebut dan saya sudah juga memberikan jawabannya. Apa lagi yang Ayah mau saya katakan????
Itu burung gagak, burung gagak, Ayah.....”, kata si anak dengan nada yang begitu marah.
Si ayah lalu bangun menuju ke dalam rumah meninggalkan si anak yang kebingungan.
Sesaat kemudian si ayah keluar lagi dengan sesuatu di tangannya. Dia mengulurkan benda itu kepada anaknya yang masih geram dan bertanya-tanya. Diperlihatkannya sebuah diary lama.
“Coba kau baca apa yang pernah Ayah tulis di dalam diary ini,” pinta si Ayah.

Si anak setuju dan membaca paragraf yang berikut.
“Hari ini aku di halaman melayani anakku yang genap berumur lima tahun. Tiba-tiba seekor gagak hinggap di pohon berhampiran. Anakku terus menunjuk ke arah gagak dan bertanya,
“Ayah, apa itu?” Dan aku menjawab, “Burung gagak.”
Walau bagaimana pun, anakku terus bertanya soal yang serupa dan setiap kali aku menjawab dengan jawaban yang sama. Sehingga 25 kali anakku bertanya demikian, dan demi rasa cinta dan sayangku, aku terus menjawab untuk memenuhi perasaan ingin tahunya.
“Aku berharap hal ini menjadi suatu pendidikan yang berharga untuk anakku kelak.” Setelah selesai membaca paragraf tersebut si anak mengangkat muka memandang wajah si Ayah yang kelihatan sayu. Si Ayah dengan perlahan bersuara,
“Hari ini Ayah baru bertanya kepadamu soal yang sama sebanyak 5 kali, dan kau telah hilang kesabaran serta marah.”
Lalu si anak seketika itu juga menangis dan bersimpuh di kedua kaki ayahnya memohon ampun atas apa yg telah ia perbuat.

Kamis, 27 Oktober 2011

5 Kalimat Bijak Terbaik dari Sang Buddha

  • Kedamaian berasal dari dalam batin, Jangan mencarinya di luar, Kamu tidak akan menemukannya. 
  • Tinggalkan masa lalu, lepaskan beban akan masa depan, tidak terikat dengan yang sekarang maka kamu akan merasakan kedamaian batin. 
  • Tidak iri maupun serakah, tanpa menjadi budak hawa nafsu dan tidak terseret dalam segala situasi, itulah cara hidup mulia. 
  • Jangan berpengeluaran lebih dari apa yang kamu punya, juga jangan cemburu dengan penghasilan orang lain. Mereka yang cemburu tidak akan pernah merasakan kedamaian. 
  • Mereka yang telah merasakan manisnya kesendirian dan keheningan menjadi bebas dari rasa takut dan dosa. 


Jumat, 14 Oktober 2011

CINTAKU JAUH DI PULAU

Cintaku jauh di pulau,
gadis manis, sekarang iseng sendiri

Perahu melancar, bulan memancar,
di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar.
angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak 'kan sampai padanya.

Di air yang tenang, di angin mendayu,
di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata:
"Tujukan perahu ke pangkuanku saja,"

Amboi! Jalan sudah bertahun ku tempuh!
Perahu yang bersama 'kan merapuh!
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!

Manisku jauh di pulau,
kalau 'ku mati, dia mati iseng sendiri.

1946

Karena mimpi melihat neraka


Pada Rasulullah SAW, jika para sahabat yang mulia bermimpi, biasanya mereka akan mengadukan dan menceritakannya kepada baginda Rasulullah. Suatu malam seorang sahabat nabi yang masih remaja bernama Abdullah bin Umar ra, pergi ke masjid Nabawi. Dia membaca Al-Quran sampai kelelahan. Setelah cukup lama membaca Al-Quran, dia hendak tidur.

Seperti biasa, sebelum tidur dia menyucikan diri dengan cara berwudhu, baru kemudian merebahkan badan dan berdoa, ‘Bismika Allahumma ahya wa bismika amutu; Ya Allah, dengan nama-Mu aku hidupdan dengan nama-Mu aku mati’

Demikianlah, baginda Rasul menuntunnya cara tidur yang baik. Sehingga dalam tidur pun, malaikat masih mencatatnya sebagai orang yang tidak lalai. Dengan mensucikan diri, ruh orang yang tidur akan mendapatkan hikmahdan siraman doa para malaikat.
Sambil pelan-pelan memejamkan mata, Abdullah bin Umar terus bertasbih menyebut nama Allah hingga akhirnya terlelap. Di dalam tidurnya yang nyenyak dia bermimpi.

Dalam tidurnya, dia berjumpa dengan dua malaikat. Tanpa berkata apa-apa, dua malaikat itu memegang kedua tangannya dan membawanya ke neraka. Dalam mimpinya, neraka itu bagai sumur yang menyalakan api berkobar-kobar. Luar biasa panasnya. Di dalam neraka itu, dia melihat orang-orang yang telah dikenalnya. Mereka terpanggangdan menanggung siksa yang tiada tara pedihnya.

Menyaksikan neraka yang mengerikan dan menakutkan itu, Abdullah bin Umar seketika berkata, ‘A ‘udzubillahi minannaar; aku berlindung kepada Allah dari api neraka.’

Setelah itu, Abdullah bertemu dengan malaikat lain.

Malaikat itu berkata, ‘kau belum terjaga dari api neraka’

★☆

Pagi harinya, Abdullah bin Umar menangis mengingat mimpi yang dialaminya. Lalu, dia pergi ke rumah Hafshah binti Umar, istri Rasulullah SAW. dia menceritakan perihal mimpinya itu dengan hati yang cemas.

Setelah itu, Hafshah menemui Baginda Nabi dan menceritakan mimpi saudara kandungnya itu kepada beliau.

Seketika itu, beliau bersabda, ‘Sebaik-baiknya lelaki adalah Abdullah bin Umar kalau dia mau melakukan shalat malam’

Mendengar sabda nabi itu, Hafshah bergembira.

Dia langsung menemui adiknya, Abdullah bin Umar dan berkata, ‘Nabi mengatakan bahwa kau adalah sebaik-baik lelaki jika kau mau shalat malam. Dalam mimpinya itu, malaikat yang terakhir kau temui mengatakan bahwa kau belum terjaga dari api neraka. Itu karena kau tidak melakukan shalat Tahajud. Jika kau ingin terselamatkan dari api neraka, dirikanlah shalat tahajud setiap malam. Jangan kau sia-siakan waktu sepertiga malam; waktu dimana Allah SWT memanggil-manggil hamba-Nya; waktu Allah mendengar doa hamba-Nya.’

Sejak itu, Abdullah bin Umar tidak pernah meninggalkan shalat Tahajud sampai akhir hayatnya. Bahkan, kerap kali dia menghabiskan waktu malamnya untuk shalat dan menangis di hadapan Allah SWT. Setiap kali mengingat mimpinya itu, dia menangis. Dia berdoa kepada Allah agar diselamatkan dari api neraka.

Apalagi jika dia ingat sabda baginda Nabi SAW, ‘Sesungguhnya, penghuni neraka yang paling ringan siksanya pada hari kiamat adalah seseorang yang diletakan pada kedua tapak kakinya bara api yang membuat otaknya mendidih. Dia merasa tidak ada orang lain yang lebih berat siksanya daripada dia. Padahal, sesungguhnya siksa yang ia terima adalah yang paling ringan di dalam neraka.’

Dia berusaha sekuat tenaga untuk beribadah kepada Allah, mencari ridha Allah, agar termasuk hamba-hamba-Nya yang terhindar dari siksa neraka yang memperoleh kemenangan Surga.

Akhirnya, dia bisa merasakan betapa nikmatnya shalat Tahajud. Betapa agung keutamaan shalat Tahajud. Tidak ada yang lebih indah dari saat-saat ia sujud dan menangis kepada Allah pada malam hari.

Kamis, 13 Oktober 2011

Sari pati hidup

Aku ingin mendaki puncak tantangan, menerjang batu granit kesulitan, menggoda mara bahaya, dan memecahkan misteri dengan sains. Aku ingin menghirup berupa-rupa pengalaman lalu terjun bebas menyelami labirin lika-liku hidup yang ujungnya tak dapat disangka. Aku mendamba kehidupan dengan kemungkinan-kemungkinan yang bereaksi satu sama lain seperti benturan molekul uranium : meletup tak terduga-duga, menyerap, mengikat, mengganda, berkembang, terurai, dan berpencar kearah yang mengejutkan. Aku ingin ke tempat – tempat yang jauh, menjumpai beragam bahasa dan orang-orang asing. Aku ingin berkelana, menemukan arahku dengan membaca bintang gemintang. Aku ingin mengarungi padang dan gurun-gurun, ingin melepuh terbakar matahari, limbung dihantam angin, dan menciut dicengkram dingin. Aku ingin kehidupan yang menggentarkan, penuh dengan penaklukan. Aku ingin hidup! Ingin merasakan sari pati hidup!!

-Andrea Hirata-

KEUTAMAAN HARI JUM'AT

1. Hari Terbaik
Abu Hurairah z meriwayatkan bahwa Rasulullah y bersabada: "Hari terbaik dimana pada hari itu matahari terbit adalah hari Jum'at. Pada hari itu Adam diciptakan, dimasukkan surga serta dikeluarkan darinya. Dan kiamat tidak akan terjadi kecuali pada hari Jum'at

2. Terdapat Waktu Mustajab untuk Berdo'a.
Abu Hurairah z berkata Rasulullah y bersabda: " Sesungguhnya pada hari Jum'at terdapat waktu mustajab bila seorang hamba muslim melaksanakan shalat dan memohon sesuatu kepada Allah pada waktu itu, niscaya Allah akan mengabulkannya. Rasululllah y mengisyaratkan dengan tangannya menggambarkan sedikitnya waktu itu (H. Muttafaqun Alaih)

Ibnu Qayyim Al Jauziah - setelah menjabarkan perbedaan pendapat tentang kapan waktu itu - mengatakan: "Diantara sekian banyak pendapat ada dua yang paling kuat, sebagaimana ditunjukkan dalam banyak hadits yang sahih, pertama saat duduknya khatib sampai selesainya shalat. Kedua, sesudah Ashar, dan ini adalah pendapat yang terkuat dari dua pendapat tadi (Zadul Ma'ad Jilid I/389-390).

3. Sedekah pada hari itu lebih utama dibanding sedekah pada hari-hari lainnya.
Ibnu Qayyim berkata: "Sedekah pada hari itu dibandingkan dengan sedekah pada enam hari lainnya laksana sedekah pada bulan Ramadhan dibanding bulan-bulan lainnya". Hadits dari Ka'ab z menjelaskan: "Dan sedekah pada hari itu lebih mulia dibanding hari-hari selainnya".(Mauquf Shahih)

4. Hari tatkala Allah l menampakkan diri kepada hamba-Nya yang beriman di Surga.
Sahabat Anas bin Malik z dalam mengomentari ayat: "Dan Kami memiliki pertambahannya" (QS.50:35) mengatakan: "Allah menampakkan diri kepada mereka setiap hari Jum'at".

5. Hari besar yang berulang setiap pekan.
Ibnu Abbas z berkata : Rasulullah y bersabda:
"Hari ini adalah hari besar yang Allah tetapkan bagi ummat Islam, maka siapa yang hendak menghadiri shalat Jum'at hendaklah mandi terlebih dahulu ......". (HR. Ibnu Majah)

6. Hari dihapuskannya dosa-dosa
Salman Al Farisi z berkata : Rasulullah y bersabda: "Siapa yang mandi pada hari Jum'at, bersuci sesuai kemampuan, merapikan rambutnya, mengoleskan parfum, lalu berangkat ke masjid, dan masuk masjid tanpa melangkahi diantara dua orang untuk dilewatinya, kemudian shalat sesuai tuntunan dan diam tatkala imam berkhutbah, niscaya diampuni dosa-dosanya di antara dua Jum'at". (HR. Bukhari).

7. Orang yang berjalan untuk shalat Jum'at akan mendapat pahala untuk tiap langkahnya, setara dengan pahala ibadah satu tahun shalat dan puasa.
Aus bin Aus z berkata: Rasulullah y bersabda: "Siapa yang mandi pada hari Jum'at, kemudian bersegera berangkat menuju masjid, dan menempati shaf terdepan kemudian dia diam, maka setiap langkah yang dia ayunkan mendapat pahala puasa dan shalat selama satu tahun, dan itu adalah hal yang mudah bagi Allah". (HR. Ahmad dan Ashabus Sunan, dinyatakan shahih oleh Ibnu Huzaimah).

8. Wafat pada malam hari Jum'at atau siangnya adalah tanda husnul khatimah, yaitu dibebaskan dari fitnah (azab) kubur.
Diriwayatkan oleh Ibnu Amru , bahwa Rasulullah y bersabda:"Setiap muslim yang mati pada siang hari Jum'at atau malamnya, niscaya Allah akan menyelamatkannya dari fitnah kubur". (HR. Ahmad dan Tirmizi, dinilai shahih oleh Al-Bani).




Senin, 10 Oktober 2011

Sudah Mati part 2


              Kuperhatikan langit yang berwarna ungu gelap. Awan bergumpal – gumpal diujung lazuardi. Kulihat pertikaian diatas sana. Seperti kilat yang menyambar – nyambar. Bunga api memercik – mercik, warna merah, jingga, hitam, ungu, menyala-nyala. Desing peperangan. Belum pernah kulihat yang sehebat ini. Kawanku menggeram di sisi tempat yang harus dijaganya, tempat yang gelap, pekat itu seperti bara yang menggelegak. Tempat itu mengaum dahsyat, lalu meletup – letup seperti lava yang melelehkan segala yang padat dan melumat segala yang cair. Ia seperti tak sabar lagi. Menunggu – nunggu. Seperti juga seluruh manusia di seantero negeri ini. Menunggu – nunggu. Tetapi ia nampaknya harus lebih bersabar lagi. Pertikaian di langit nampaknya masih belum berakhir.

                Ku perhatikan lagi pertikaian di langit. Masih seru. Seperti Bharatayuda. Seperti Irak-Iran. Atau seperti ladang pembantaian Bosnia Herzegovina. Ah, tidak..ini lebih seru lagi. Aku berusaha menelusuri amunisi para pihak yang bertikai. Ugh, pasukan pertama dari ikhtiar para dokter yang sibuk memasang segala peralatan medis di tubuh mantan penguasa itu, pasukan lawan adalah : doa. Wah... pasukan doa ini luar biasa.
   
  Kata – kata doa itu mendengung seperti milyaran gesekan sayap indah. Dengung doa itu memekakan sarafpendengaran seluruh jagad raya. Dengung yang mengiris – iris lapisan langit dan udara. Aku menyeringai, melihat dari mana asal dengung doa itu. Dengung dari ujung pulau Sumatra, dari mulut – mulut korban DOM, mereka mengacungkan tangannya, menghiba-hiba, doa mereka aneh, meminta agar Majikanku menunda mengambil saripati tubuh mantan penguasa itu, ia harus diadili lebih dahulu, mempertanggungjawabkan ribuan nyawa yang hilang tanpa sebab. Lalu ku dengar pula doa – doa itu bersekutu dengan mantera – mantera dari beberapa paranormal di sungai tempat sang mantan biasa berendam. Mereka berkumpul di tepi sungai tempat pertemuan segala arus, dan mereka bermantra, ‘jangan dulu, Hyang Kuasa cabut nyawanya, sebab itu berarti akan mematikan sumber penghasilan kami.’  

Aku nyengir sendiri. Tapi tunggu.. ada pasukan lain yang juga mendengungkan doa mereka, mereka adalah keluarga yang kehilangan ayah, abang, ibu, paman, karena tuduhan gerakan komunis. Tetapi doa mereka seperti menelikung teman sendiri : mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati.

Gemuruh doa seperti senjata para kurawa, mendesing-desing. Menukik-nukik. Menggelegar-gelegar. Melawan ikhtiar para dokter ahli, yang sesekali beristirahat untuk konferensi pers. Pasukan ikhtiar dibantu doa – doa dari ahli waris sang sakit, jangan meninggal dulu ayahanda, engkau belum selesai membagikan hak waris tujuh turunan, dan memberikan nomor rekening, dari bank-bank mancanegara. Tunggu ayahanda, selesaikan dulu hak waris mewarisi ini, konsensi  atas perusahaan – perusahaan telekomunikasi, partai politik, dan perusahaan jalan tol dan minyak, tunggu dulu ayahanda.

Gemuruh doa dan ikhtiar, berperang, suaranya saling bersahutan. Menukik-nukik, menggelegar-gelegar, mendesing-desing, mendentum-dentum. Meninggalakan kepulan debu dan bau mesiu.

Aku terkesima

Terdengar dentang jam kota. Astaga. Aku lupa, dari daftar  perubahan pencabutan nyawa hari ini, Parmin menempati urutan pertama. Maka ku benahi sayapku, sambil menghela nafas panjang, sayang rasanya harus meninggalkan peperangan seru ini. Tetapi, sudahlah, aku harus menunaikan tugasku. Mungkin alam langit milik Parmin tidak seheboh ini. Aku meluncur terbang menuju stasiun kereta. Hujan yang mengguyur sejak tadidi selatan kota tak juga reda. Hujan lalu menyebabkan air naik, jang disebut banjir laah, Cuma air naik, kalau disebut banjir, itu berlebihan.

Aku hinggap diujung tiang listrik. Ku belai-belai sayapku yang tidak basah karena hujan. Memperhatikan Parmin yang berjalan gontai menuju gerbong kereta. Ada yang sedikit menyesak di dadaku, aku sudah tahu apa yang akan terjadi, itu sebabnya aku ingin  menangis. Sebentar lagi Parmin akan diserang penyakit lamanya, darah yang mininggi, lalu menyerang kesadarannya, lalu...

Bruk! Tubuhnya tumbang seperti batanga pisang. Air naik menelannya. Aku menengok ke kanan dan ke kiri, berharap ada manusia lain yang peduli. Aku tahu sia-sia saja, aku sudah tahu bahwa tidak akan ada yang peduli. Tubuh Parmin perlahan tenggelam, masih kulihat gelembung udara di air yang berwarna coklat itu. Tetapi tunggu, kudongakan kepalaku menatap langit di atas tubuh Parmin. Ada juga gemuruh doa. Tetapi tidak ada pertikaian. Gemuruh saja, sendirian. Gemuruh doa berasal dari mulut Narmi, yang sedang shalat Ashar, tangannya menengadah dan matanya terpejam. Doanya sapu jagat, meminta kebaikan dunia akhirat. Dunia Parmin mengecil dan akhirat mendatanginya. Gelembung udara di air kotor makin sedikit. Aku menunggu detik – detik tanggung jawabku. Tak ada pertikaian, sebab Parmin tidak pernah melukai siapapun kecuali dirinya sendiri, ia tidak penting didoakan kecuali oelh Narmi. Langit bersih, cerah, tak ada kepul debu dan mesiu. Aku merasa tidak akan kesulitan menjemputnya. Benar saja, cahaya putih dari tubuh Parmin itu begitu ringan. Kawanku yang menunggu tempat terindah dengan bau kesturi, pepohonan rindang dan sungai – sungai madu, seperti tak sabar menunggu. Parmin berbau harum, aku erat memeluknya dan mengantarnya seperti raja.

Jam kota berdentang satu kali. Sekarang saatnya. Ku tengok perang telah reda. Pasukan ikhtiar kalah oleh gemuruh pinta. Pinta dari kaum terdzolimi yang naik turun tak henti – henti. Mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati.

Sudah, ia sudah mati.

dikutip dari buku :

Sudah Mati part 1

Karya : Izzatul Jannah              

komentar admin : cerpen yang indah, kekuatannya ada pada kedalaman pikiran sang penulis, hal yang mengesankan terdapat pada sudut pandangnya. Pecinta sastra tentu harus membacanya..












                ‘sudah mati, pak?’

                ‘belum, masih dipasang ventilator..’ Parmin membesarkan radio tua itu, menegtuk-ngetuknya jika suaranya berkeresek-keresek, seperti tertiup angin ribut. Sesekali ia merapatkan jaket lusuhnya, menahan gigil. Tak hanya dingin, juga kepalanya yang seakan-akan digodam palu.
                ‘kasihan ya...’

                ‘Hmmmm...’ Parmin mengepalkan tangannya. Ada ribuan kunang-kunang di depan matanya. Tapi, Narmi tak akan percaya jika ia bilang sakit. Orang seperti mereka tak berhak sakit.
                Narmi melanjutkan menjahit kemeja suaminya yang robek, persis di bagian ketiak. Sesekali ia membetulkan letak kaca matanya yang melorot menuruni ujung hidungnya yang pesek. ‘kenapa ya pak?’

‘apanya?’

‘Kok, tidak mati – mati..’

Parmin menutup telinganya yang terasa berdenging dengan kedua tangannya. ‘Terlalu banyak kali...’

‘apanya?’

‘ya semuanya..’

‘semuanya bagaimana?’         

‘Harta haramnya, dosanya, kebaikannya, jasanya, anaknya, yayasannya, perusahaannya... rekeningnya... dendam orang –orang kepadanya... harapan orang – orang padanya.. semuanya!!’
               
            Narmi tidak menyadari bahwa suara Parmin bergetar. ‘memangnya kenapa kalau terlalu banyak semua-muanya itu?’
            
           Parmin hanya mendengus. Kali ini Parmin tidak mampu menjelaskan pada istrinya. Kalaupun ada penjelasan, paling ngawur bin asbun, tidak seperti anailisis para kolumnis yang kritis dan mendesis-desis itu. Parmin memijit-mijit kepalanyayang sejak kemarin terasa berdenyut – denyut dan kini semakin terasa kencang berdenyut. Darah tinggi, darah yang meninggi, nyaris merobek nadi di kepalanya.
       
         ‘sudah?’

         ‘apanya?’
        
        ‘jahitnya! Aku kedinginan ini..’ Parmin membelalakan mata pada istrinya. Angin yang menghembus dari celah – celah kardus gubuk mereka, membuat bulu kuduknya meremang, terasa dingin di ujung – ujung tubuh, membuat denyut di kepalanya semakin mendera.
               
          ‘Oh, ku kira menanyakan dia sudah mati atau belum. Sebentar lagi... lagian, robek kok besar amat... nah selesai. Lain kali, kalau nyuci gerbong pelan – pelan, jangan sampai robek lagi, susah njahitnya...’
          
         Parmin tersenyum kecut. Ia mengenakan kembali kemejanya yang berwarna entah itu. Putih bukan, abu – abu bukan. Lalu beranjak bangkit, menyingkap  pintu plastik di depannya. Gerbong – gerbong itu masih menunggu untuk dicuci, lumayan, seribu lima ratus per-gerbong, sekedar beli garam agar nasinya tak terlalu dingin.

               ‘sudah ya. Aku kerja lagi..’ parmin berpamitan pada istrinya. Tanpa cium tangan-pipi seperti pamitan para selebriti. Narmi hanya mengangguk.
             
              ‘Bu..’ Parmin masuk lagi. Wajahnya pucat, seakan menahan sakit teramat sangat. Narmi mengerutkan kening.
              
            ‘dari tadi rasanya dingin, kamu juga?’
          
            ‘Juga apa?’
      
            ‘Dingin?’
  
            Narmi meraba lengannya sendiri, lalu meraba tengkuknya, mengendus udara sekitar gubuk kardus mereka.
        
           ‘Ndak e...panas malah, ni.. eh, Pak... kamu kenapa Pak?’ Narmi gugup melihat suaminya terlihat pucat.
              
          ‘nggak papa, Bu... sudahlah, aku pergi dulu!’ kali ini Parmin melangkah tanpa menengok-nengok lagi.
              
           Akulah yang  membuat Parmin merasa dingin, tetapi tidak terasa pada Narmi, karena belum waktunya. Parmin mungkin sebentar lagi. Aku tadi diminta untuk menengoknya, setelah perintah untuk melakukan pekerjaanku di rumah sakit orang – orang kaya itu ditunda. Begitulah perintah atasanku : TUNDA DULU!


Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More