Kamis, 31 Mei 2012

Petikan kalimat Jim Rohn

Biarkan orang lain menjalani kehidupan yang kecil, tetapi kamu jangan.
Biarkan orang lain memperdebatkan soal-soal kecil, tetapi kamu jangan.
Biarkan orang lain menangisi kepedihan-kepedihan kecil, tetapi kamu jangan.
Biarkan orang lain menyerahkan masa depan mereka kepada orang lain, tetapi kamu jangan.

Pulang Dari Taman Pahlawan


Saat aku makin gamang
engkau pun bertanya
mengapa bajuku basah
Padahal gerimis reda
Jawabku hampir tak berkata
Bagaimana bisa kutakar asap hitam yang berkepulan dalam dada?



Petikan puisi karya D. Zawawi Imron, Pulang Dari Taman Pahlawan, dalam Jalan Mati Dalam Samudra

Senin, 14 Mei 2012

Seiman Lapuk

Engkau hancur, manisku!
dilumat patah kata tak terarah, padahal kalau saja
boleh aku sanjung: bidadari ada di lipatan ketiakmu,
maharani pun malu tatap bayang batang hidungmu.

Engkau telah menjelma seorang pengecut yang sengaja
kau biarkan panasnya bakar kulit hitam manismu, hingga
sepertiga namamu kau penggal dari indah labuhan maknanya.
Sekali ini kau coba bermain, namun sekali ini kau lekat
di bawah terompahku yang sengaja kuinjakkan tahi.
Kau remas mahkota jadi sebuah duka, kau busungkan
dada yang tak menggoda. Walau kata temanku: demi kebaikanmu.

Apa kebaikan mesti dibungkus dengan darah
perawan; sudah tak adakah arti sunyi malam yang
selalu kau nodai dengan dzikir; di mana kau campakkan senyum
yang buat pejantan akui kebodohan; kemana kau buang
butir-butir tasbih yang berputar dengan mukamu yang tengadah?

Aku yakin,
kau tetap menawan - meski kadang kau amat tolol - karena setiap
air matamu kusaksikan nyata telah basahi
sajadah iman di balik rumbai-rumbainya, dan
aku nylonong begitu saja untuk meminumnya.



Ditulis oleh Kholid Moh. Jamal

Rabu, 09 Mei 2012

22 April


         Memandangmu. Ada yang lekat-lekat membekukan suasana. Ada ilusinya ; seperti gerakan anggun gugurnya sakura berkecepatan 5 centimeter/detik , dengan latar langit tropis saat senja dan udara fajar lengkap dengan jangkriknya. Semakin pukau saat tiba-tiba Bulan dipertengahan bulan Komariah memayungi tapi tak mau memandangku, tak ingin jadi saksi sebuah ilusi dari pertemuan sederhanaku.
        Di 22 April. 22 detik? 31 detik? Atau 47 detik? Ah entahlah, yang pasti itu tadi sangat sebentar. Dan seperti biasa, pertemuan denganmu memang selalu sederhana.



22 April 2012

Minggu, 06 Mei 2012

Wanita Menangis


Aku benci saat melihat wanita menangis. Karena aku tak tau apa yang harus kuperbuat saat wanita melakukan itu . bukan berarti wanita tidak boleh menangis, tapi aku tampak seperti pengecut saat wanita mengimplementasikan kesedihannya lewat cairan yang disebut air mata itu.
Aku benci saat menunjukan empatiku terhadap wanita yang menangis, apalagi harus berpura-pura empati. Ah, ayolah jangan menangis! Atau simpan saja tangisanmu di tempat yang aman, lau menangislah tanpa menunjukannya kepadaku.
Aku benci menghadapi mahluk melankolis ini saat mereka tersedu-sedu. Bercucuran. Dan aku pergi begitu saja. Tidak sampai disitu, mengapa aku merasa bersalah saat pergi begitu saja? Sekali pun aku bukan penyebab wanita menangis. Lantas mengapa harus merasa bersalah? Seperti aku meninggalkan suatu kewajiban dan melewatkan hakku.
Apakah aku harus ikut menangis?  Ataukah harus menghibur meski tidak melankolis? Haruskah mengintrogasi penyebab mereka teriris?

Ah, aku benci melihat wanita menangis? Atau benci melihat diriku saat aku melihat wanita menangis?

Hujan mengering


Aduh, panas sekali hari ini, meski mentari tidak terlalu menyengat karena diselimuti awan tebal tapi tetap saja partikel-partikel itu membuat hari terasa panas.
Sangat berharap hujan turun membasahi bebatuan kering kerontang juga tanah berdebu yang seakan mengepal, buatlah tanah pedesaan menebar bau khasnya. Tapi rintik yang didamba tidak juga turun.
Hey, ada awan mendung! Sepertinya akan turun hujan. Kerlap-kerlip awan itu tepat diatasku, sejenak memenjarakan kesedihan akan udara yang panas dan berdebu tadi. Aku tunggu hingga ia bercucuran. Berbinar aku melihatnya, dan aku yakin ia pun berbinar melihatku.
Tapi derai dari rintik itu tak juga turun. Harapan yang terlanjur berbuih, kini terpanggang diatas jelaga.
Tentang kapan berderainya hujan, tentang harapan akan risalah, tentang semua kerancuan yang tak kunjung jatuh bersama debur hujan.
Selokan itu tambah kering.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More