Kamis, 18 Agustus 2011

Kisah sebuah singgasana

Share this history on :

Oleh : Ivan Nursyifa Hidayah
“Ingin kuberikan semesta ke hadapmu, memberikan semua asa yang kau ingin, hingga pada saat yang indah nanti kau dapat ceritakan kisah nyatamu kepada sang dunia. Namun ku sendiri tak mempunyai semesta, ku sendiri terus meronta tuk lenyapkan resah dikhayalku. Ya, di sudut hatiku terlukis namamu, namun disaat yang lain kanker busuk seolah melarangku untuk berkhayal.”
Ucapan Aidil tadi mengalir dalam renungannya, dan mungkin hanya renungan – renungan seperti inilah yang dapat membuatnya tegar menjalani jatah hidupnya. Kanker hati yang dialaminya sejak dua tahun silam seolah merontokan semua asa yang dipunyai Aidil.
Sore ini hujan begitu deras, senja yang biasanya bertaburan kini terurai oleh cercahan air hujan. Namun, tak sedikitpun mengurungkan niat Nina untuk menjenguk Aidil, pemuda yang sudah 3 tahun menjadi raja di putih hatinya.
“Hai Aidil”, suara merdu yang sudah tidak asing lagi tiba – tiba membuyarkan renungan Aidil. Namun Aidil seolah tak memperhatikan itu, ia hanya diam. Tapi Nina tak  tinggal diam, seolah tahu perasaan Aidil sekarang, ia mencoba untuk menghiburnya. Celotehan renyah dan cerita sehari – hari terus dipaparkanya diiringi dengan senyum lembut Nina di bibir merahnya.
Aidil diam, Nina terus berceloteh, menunggu senyum lebar dari Aidil. Tiba – tiba, “sudah cukup Nin! Banyak hal yang bisa kamu lakukan di luar sana, dari pada terus berceloteh di hadapan orang yang sudah tak berguna. Sudah cukup Nin! Masih banyak pemuda diluar sana yang mengharapkan kasihmu, dari pada terus letakan cintamu pada pemuda sepertiku yang sudah diambang maut. Sebentar lagi aku akan mati, aku takan bisa bersamamu, aku takan bisa memberikan apapun padamu, ak.....” ‘plaaaak’, sebuah tamparan dari tangan halus Nina menghentikan mulut Aidil, mereka berdua tak kuasa menahan tangis, kedua anak Adam ini merapuh, di hati mereka tak mudah memang melepas cinta yang sudah bersarang lebih dari tiga tahun di hati mereka dengan segala getir dan manisnya. Cukup lama merekan dalam diam. “Aidil, aku mencintaimu layaknya bunga mawar, tak peduli berapapun banyaknya duri di mawarku. Aku mencintaimu seperti kentut dil, akan ku keluarkan segimanapun baunya.” Air mata disertai tawa pun muncul, Aidil tersipu, Nina menangkap sipunya Aidil.
Sekelebat kemudian datang dua orang suster, suster – suster itu mencabut infus yang melekat pada Aidil lalu hendak membawa Aidil ke ruang operasi yang ada disebelah ruangannya. Tangis tumpah Nina menyertai perjalanan mereka ke ruang operasi, lalu Aidil mengakhiri pertemuan saat itu dengan senyum yang benar – benar manis, mungkin yang termanis dalam dua tahun kebelakang.
Empat jam berlalu, operasi Aidil selesai. Aidil tengah koma. Raganya terpaku, namun tidak dengan jiwanya, tidak dengan ilusinya, Aidil melayang, ia memasuki lorong – lorong cahaya, cahayanya sangat teduh, putih bersih dan tenang, namun tak membuatnya silau. Ia berhenti di sebuah istana yang sangat megah, istana yang terbuat dari cahaya dan emas sebagai ubinnya. Dua orang penjaga membukakan gerbang istana itu dan mempersilahkan Aidil masuk. Ia masuk sambil menyebut nama Tuhannya, Allah. Tak henti ia mengucapkan nama Allah, kini langit yang sedari dulu amat sangat jauh sekarang menjadi atap istana yang ia pijaki dengan bintang yang menggantung sebagai lampu hiasnya. Kedua penjaga itu mempersilahkan Aidil untuk memasuki sebuah kamar. Ternyata di dalamnya tengah duduk seorang bidadari bercadar dengan gaun putih disertai wewangian seribu macam bunga. Bertanyalah Aidil, “ siapakah dirimu?”, “ aku adalah bidadarimu, aku adalah permaisurimu.” Aidil tersenyum, mendekat dan nakal membuka cadar yang menutupi wajah sang Bidadari. Aidil tersentak, ia melihat Nina dihadapannya, begitu cantik begitu anggun. Aidil tersenyum dan memeluknya erat, sangat erat, tak ingin lepas, pelukan itu teduh, pelukan itu dirasa putih. Namun tiba – tiba kekuatan aneh menarinknya keluar, terseret jauh dari Nina, melewai ruangan atap langit, lalu ia kembali ke lorong – lorong cahaya tadi.
Aidil terjaga, matanya sayu, namun ia dapat melihat jelas Nina di samping kanannya, tak lama kemudian ia bisa berbicara dan menceritakan kerajaan cahaya yang baru disinggahinya serta keberadaan Nina di istana itu. Mereka berdua terisak dalam kebahagiaan, sekalipun mereka tak bersatu di semesta ini, mereka meyakini akan ada suatu tempat bagi mereka untuk bersatu, berkiprah diatas cinta yang mereka bangun dengan segala tawa dan jeritnya.
“Allah pun menghendaki, kita akan membuat kisah di dalam singgasananya.” Lirih Aidil.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More