Senin, 17 September 2012

Jagung, Susu, Keju dan Pohon Ketapang

Share this history on :

Jika tidak bisa disebut deras, rintik hujan kali ini gerombolan memukul-mukul tanah. Sewajarnya tak ada yang bermain-main di bawah kawanan rintik itu. Ah, lihatlah pemuda itu, menjadi pengecualian bagi mahluk-mahluk sebangsanya yang memilih sembunyi di ruangan. Lagi-lagi disana, di bawah pohon ketapang ; tempat mang Udin biasanya mangkal. Tapi sekarang si mang tak sedang mangkal, namun pemuda itu seolah menunggu hidangan di patilasan mang Udin itu.

apa yang kulakukan?

 Ia pun sebenarnya getir dan nanar melihat dirinya sendiri, tak mengerti apa yang ia lakukan, yang bahkan telah menjadi rutinitasnya belakangan ini. Membeli jasuke garapan mang Udin, duduk di bawah pohon ketapang yang teduh, dan hanya memakan jasuke sebagian, sebagiannya lagi ia biarkan, berharap sang Pemudi tiba-tiba datang dan menyambarnya dengan lahap. Atau di makan bersama, dengan sendok bekas air liur berdua. Ah, mesra sekali..

Bukankah itulah yang biasa kita lakukan?

Kini tidak lagi, si pemudi pergi dengan badai yang tak pernah ia ceritakan, menimbulkan luka di semua bagian bagi sang Pemuda. Sampai akhirnya si Pemuda tahu, bahwa janur kuning itu tak bisa lagi diluruskan.

Apa kau bahagia?

Hujan tak bertangkai terus merajam, menyakiti hati yang tak bertuan, bukan cuma derasnya,tapi juga lantunan lagu melow yang dikidungkan. menyayat hati selapuk debu, si Pemuda ingin pulang, tapi entah ke hadirat yang mana

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More