Senin, 17 September 2012

Kisah Monokrom

Share this history on :


Sama kayak Bondan Prakoso, aku juga mencari kira-kira kata apa yang tepat untuk protes terhadap waktu. Mengapa kali ini semenit seperti selamanya? Ah, Einstein sialan, mengapa ia harus mengatakan bahwa waktu itu relatif, membuatku semakin menyadari bahwa waktu memang benar-benar relatif, apalagi saat memandangi kursi taman tempat kau menepi. Juga sekaligus tempat yang kau putuskan atau bahkan kau pesan khusus untuk mengucapkan kata perpisahan yang menyibak dan menggulai segala emosi di kening pelontosku...

Sayang, aku tak bisa memilih kepada siapa aku harus jatuh cinta. Nyatanya, mencintaimu tak kunjung berujung apa akhir.
Apakah cinta selucu ini? aku duduk di kursi lantas aku menonton pagelaran dramatis dimana kau pergi, dan aku hanya menonton tanpa kuasa kutahan karena angin terlalu kencang. atau karena aku lupa akan skenarionya?
Setalah kita melawan segala norma, berlari ketempat tak bernama, bahkan mencari buah khuldi agar Tuhan menerbangkan kita ke gugusan yang lain, hanya untuk mewujudkan cerita cinta yang orang-orang katakan tak wajar, dan tidak akan wajar. Tapi mau bagaimana lagi? Aku yang terlahir sebagai lelaki dan Tuhan seolah melarangku untuk mencintai mahluk bernama perempuan, dan sialnya lagi katanya aku tak boleh menyalahkan-Nya.Bukankah ini sudah menjadi hakku, Tuhan?
Satu suara dering sms yang sebenarnya tak ingin kudengar namun telah terlanjur berdering. Satu nama yang sedang kulamunkan tadi mencul di layar hp monokrom jaman kompeni..

"Sedikit demi sedikit aku sudah bisa mencintai wanita. semoga kau juga dapat melakukannya :)  "


"Aku turut bahagia John" lirihku

2 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More