Senin, 10 Oktober 2011

Sudah Mati part 2

Share this history on :


              Kuperhatikan langit yang berwarna ungu gelap. Awan bergumpal – gumpal diujung lazuardi. Kulihat pertikaian diatas sana. Seperti kilat yang menyambar – nyambar. Bunga api memercik – mercik, warna merah, jingga, hitam, ungu, menyala-nyala. Desing peperangan. Belum pernah kulihat yang sehebat ini. Kawanku menggeram di sisi tempat yang harus dijaganya, tempat yang gelap, pekat itu seperti bara yang menggelegak. Tempat itu mengaum dahsyat, lalu meletup – letup seperti lava yang melelehkan segala yang padat dan melumat segala yang cair. Ia seperti tak sabar lagi. Menunggu – nunggu. Seperti juga seluruh manusia di seantero negeri ini. Menunggu – nunggu. Tetapi ia nampaknya harus lebih bersabar lagi. Pertikaian di langit nampaknya masih belum berakhir.

                Ku perhatikan lagi pertikaian di langit. Masih seru. Seperti Bharatayuda. Seperti Irak-Iran. Atau seperti ladang pembantaian Bosnia Herzegovina. Ah, tidak..ini lebih seru lagi. Aku berusaha menelusuri amunisi para pihak yang bertikai. Ugh, pasukan pertama dari ikhtiar para dokter yang sibuk memasang segala peralatan medis di tubuh mantan penguasa itu, pasukan lawan adalah : doa. Wah... pasukan doa ini luar biasa.
   
  Kata – kata doa itu mendengung seperti milyaran gesekan sayap indah. Dengung doa itu memekakan sarafpendengaran seluruh jagad raya. Dengung yang mengiris – iris lapisan langit dan udara. Aku menyeringai, melihat dari mana asal dengung doa itu. Dengung dari ujung pulau Sumatra, dari mulut – mulut korban DOM, mereka mengacungkan tangannya, menghiba-hiba, doa mereka aneh, meminta agar Majikanku menunda mengambil saripati tubuh mantan penguasa itu, ia harus diadili lebih dahulu, mempertanggungjawabkan ribuan nyawa yang hilang tanpa sebab. Lalu ku dengar pula doa – doa itu bersekutu dengan mantera – mantera dari beberapa paranormal di sungai tempat sang mantan biasa berendam. Mereka berkumpul di tepi sungai tempat pertemuan segala arus, dan mereka bermantra, ‘jangan dulu, Hyang Kuasa cabut nyawanya, sebab itu berarti akan mematikan sumber penghasilan kami.’  

Aku nyengir sendiri. Tapi tunggu.. ada pasukan lain yang juga mendengungkan doa mereka, mereka adalah keluarga yang kehilangan ayah, abang, ibu, paman, karena tuduhan gerakan komunis. Tetapi doa mereka seperti menelikung teman sendiri : mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati.

Gemuruh doa seperti senjata para kurawa, mendesing-desing. Menukik-nukik. Menggelegar-gelegar. Melawan ikhtiar para dokter ahli, yang sesekali beristirahat untuk konferensi pers. Pasukan ikhtiar dibantu doa – doa dari ahli waris sang sakit, jangan meninggal dulu ayahanda, engkau belum selesai membagikan hak waris tujuh turunan, dan memberikan nomor rekening, dari bank-bank mancanegara. Tunggu ayahanda, selesaikan dulu hak waris mewarisi ini, konsensi  atas perusahaan – perusahaan telekomunikasi, partai politik, dan perusahaan jalan tol dan minyak, tunggu dulu ayahanda.

Gemuruh doa dan ikhtiar, berperang, suaranya saling bersahutan. Menukik-nukik, menggelegar-gelegar, mendesing-desing, mendentum-dentum. Meninggalakan kepulan debu dan bau mesiu.

Aku terkesima

Terdengar dentang jam kota. Astaga. Aku lupa, dari daftar  perubahan pencabutan nyawa hari ini, Parmin menempati urutan pertama. Maka ku benahi sayapku, sambil menghela nafas panjang, sayang rasanya harus meninggalkan peperangan seru ini. Tetapi, sudahlah, aku harus menunaikan tugasku. Mungkin alam langit milik Parmin tidak seheboh ini. Aku meluncur terbang menuju stasiun kereta. Hujan yang mengguyur sejak tadidi selatan kota tak juga reda. Hujan lalu menyebabkan air naik, jang disebut banjir laah, Cuma air naik, kalau disebut banjir, itu berlebihan.

Aku hinggap diujung tiang listrik. Ku belai-belai sayapku yang tidak basah karena hujan. Memperhatikan Parmin yang berjalan gontai menuju gerbong kereta. Ada yang sedikit menyesak di dadaku, aku sudah tahu apa yang akan terjadi, itu sebabnya aku ingin  menangis. Sebentar lagi Parmin akan diserang penyakit lamanya, darah yang mininggi, lalu menyerang kesadarannya, lalu...

Bruk! Tubuhnya tumbang seperti batanga pisang. Air naik menelannya. Aku menengok ke kanan dan ke kiri, berharap ada manusia lain yang peduli. Aku tahu sia-sia saja, aku sudah tahu bahwa tidak akan ada yang peduli. Tubuh Parmin perlahan tenggelam, masih kulihat gelembung udara di air yang berwarna coklat itu. Tetapi tunggu, kudongakan kepalaku menatap langit di atas tubuh Parmin. Ada juga gemuruh doa. Tetapi tidak ada pertikaian. Gemuruh saja, sendirian. Gemuruh doa berasal dari mulut Narmi, yang sedang shalat Ashar, tangannya menengadah dan matanya terpejam. Doanya sapu jagat, meminta kebaikan dunia akhirat. Dunia Parmin mengecil dan akhirat mendatanginya. Gelembung udara di air kotor makin sedikit. Aku menunggu detik – detik tanggung jawabku. Tak ada pertikaian, sebab Parmin tidak pernah melukai siapapun kecuali dirinya sendiri, ia tidak penting didoakan kecuali oelh Narmi. Langit bersih, cerah, tak ada kepul debu dan mesiu. Aku merasa tidak akan kesulitan menjemputnya. Benar saja, cahaya putih dari tubuh Parmin itu begitu ringan. Kawanku yang menunggu tempat terindah dengan bau kesturi, pepohonan rindang dan sungai – sungai madu, seperti tak sabar menunggu. Parmin berbau harum, aku erat memeluknya dan mengantarnya seperti raja.

Jam kota berdentang satu kali. Sekarang saatnya. Ku tengok perang telah reda. Pasukan ikhtiar kalah oleh gemuruh pinta. Pinta dari kaum terdzolimi yang naik turun tak henti – henti. Mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati.

Sudah, ia sudah mati.

dikutip dari buku :

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More